PMK 18/PMK.03/2021

Peraturan Menteri Keuangan
18/PMK.03/2021
Tanggal Peraturan

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18/PMK.03/2021

TENTANG
 

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020
TENTANG CIPTA KERJA DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN,
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH,
SERTA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
 
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (4),
Pasal 4 ayat (ld), dan Pasal 4 ayat (3) huruf f, huruf o, dan
huruf p Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja, perlu mengatur lebih lanjut ketentuan
di bidang Pajak Penghasilan untuk mendukung kemudahan
berusaha;
    b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (13)
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, serta Pasal 13
ayat (Sa) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu mengatur ketentuan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah untuk mendukung
kemudahan berusaha;
    c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (3a),
Pasal 9 ayat (4), Pasal 13 ayat (6), Pasal 14 ayat (6), Pasal 15
ayat (5), Pasal 17B ayat (la), Pasal 27B ayat (8), dan
Pasal 44B ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
perlu mengatur ketentuan mengenai ketentuan umum dan
tata cara perpajakan untuk mendukung kemudahan
berusaha;
    d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c , perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan UndangUndang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di
Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Mengingat : 1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
    3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573);
    4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573);
    5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4916);
    6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
    7. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020
Kementerian Keuangan (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
    8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012
tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan
Surat Tagihan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 902) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2015
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan
Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1467);
    9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 /PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pemeriksaan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 47) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 /PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pemeriksaan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1468);
    10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014
tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1951);
    11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor · 242/PMK.03/2014
ten tang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973);
    12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014
tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat
Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 180);
    13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016
tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan
Penerimaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 538);
    14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217 /PMK.01/2018
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 217 /PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);

MEMUTUSKAN:
 
Menetapkan : PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG PELAKSANMN
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA
KERJA DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN, PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH, SERTA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA
PERPAJAKAN.
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     
    Pasal 1
    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
    1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut
Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
    2. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya
disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
    3. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
    4. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang
PPh.
    5. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN
adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang PPN.
    6. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya
disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
    7. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB
adalah Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
    8. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.
    9. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender
kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak
sama dengan tahun kalender.
    10. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi
Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan
pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
    11. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP
adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
    12. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya
disingkat NTPN adalah nomor tanda bukti pembayaran atau
penyetoran ke kas negara yang diterbitkan melalui modul
penerimaan negara atau oleh sistem penerimaan negara yang
dikelola oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
    13. Warga Negara Indonesia yang selanjutnya disingkat WNI
adalah orang bangsa Indonesia asli atau orang bangsa lain
yang telah disahkan sebagai warga negara Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang kewarganegaraan Republik Indonesia.
    14. Warga Negara Asing yang selanjutnya disingkat WNA adalah
setiap orang yang bukan WNI.
    15. Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek
Pajak Luar Negeri adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak
yang menerangkan bahwa WNI memenuhi persyaratan
menjadi subjek pajak luar negeri.
    16. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya
disingkat P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak.
    17. Pemberi Kerja adalah badan hukum atau badan-badan lainnya
yang mempekerjakan WNA dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
    18. Dividen adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh
pemegang saham.
    19. Laba Setelah Pajak adalah laba setelah pajak komprehensif.
    20. Laba Ditahan adalah akumulasi Laba Setelah Pajak yang tidak
dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk Dividen
yang digunakan untuk membiayai berbagai kepentingan
perusahaan.
    21. Badan Pengelola Keuangan Haji yang selanjutnya disingkat
BPKH adalah lembaga yang melakukan pengelolaan keuangan
haji sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pengelolaan keuangan haji.
    22. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat
BPIH adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh warga
negara yang akan menunaikan ibadah haji.
    23. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya
disebut BPIH Khusus adalah sejumlah dana yang harus
dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji
khusus.
    24. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya,
serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan
landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang
yang mengatur mengenai kepabeanan.
    25. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual,
penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
    26. Barang Kena Pajak yang selanjutnya disingkat BKP adalah
barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
    27. Jasa Kena Pajak yang selanjutnya disingkat JKP adalah jasa
yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
    28. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa
pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, meng1mpor barang, mengekspor
barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan
usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan
jasa dari luar Daerah Pabean.
    29. Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disingkat PKP adalah
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau
penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan UndangUndang
PPN.
    30. PKP Belum Melakukan Penyerahan adalah PKP belum
melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP,
dan/atau ekspor JKP.
    31. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah
kantor pelayanan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar, tempat PKP dikukuhkan,
dan/ atau tern pat objek pajak PBB diadministrasikan.
    32. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya
disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal
Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara
Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa
Bendahara Umum Negara.
    33. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh
PKP yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
    34. Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar
oleh PKP karena perolehan BKP dan/ atau perolehan JKP
dan/ atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
dan/atau impor BKP.
    35. Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh
PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP,
ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan/ atau
ekspor JKP.
    36. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran
pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir
atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui
tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
    37. lnformasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic maiij, telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode
akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
    38. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas
Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait
dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai
alat verifikasi dan autentikasi.
    39. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah perdagangan
yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat
dan prosedur elektronik.
    40. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk
sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang
tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
    41. Surat Keputusan Pemberian lmbalan Bunga yang selanjutnya
disingkat SKPIB adalah surat keputusan yang menentukan
besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
    42. Surat Keputusan Perhitungan Pemberian Imbalan Bunga yang
selanjutnya disingkat SKPPIB adalah surat keputusan yang
digunakan sebagai dasar untuk memperhitungkan imbalan
bunga dalam SKPIB dengan Utang Pajak dan/ atau pajak yang
akan terutang.
    43. Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya
disingkat SPMIB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala KPP
atas nama Menteri Keuangan untuk membayar imbalan bunga
kepada Wajib Pajak.
    44. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
yang selanjutnya disingkat SKPKPP adalah surat keputusan
yang digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan Surat
Perintah Membayar Kelebihan Pajak.
    45. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat
SP2D adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala KPPN selaku
Kuasa Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan
pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara berdasarkan SPMIB.
    46. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan
antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan
pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara
pembahasan akhir hasil pemeriksaan yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang
baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dan
perhitungan sanksi administrasi.
    47. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah
arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media
penyimpanan digital.
     
    BAB II
    PAJAK PENGHASILAN
     
    Bagian Kesatu
    Persyaratan Subjek Pajak Orang Pribadi
     
    Pasal 2
    (1) Orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri
merupakan orang pribadi WNI maupun WNAyang:
      a. bertempat tinggal di Indonesia;
      b. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
      c. dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
    (2) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan orang
pribadi yang:
      a. bermukim di suatu tempat di Indonesia yang:
        1. dikuasai atau dapat digunakan setiap saat;
        2. dimiliki, disewa, atau tersedia untuk digunakan; dan
        3. bukan sebagai tempat persinggahan oleh orang
pribadi tersebut;
      b. memiliki pusat kegiatan utama di Indonesia yang
digunakan oleh orang pribadi sebagai pusat kegiatan atau
urusan pribadi, sosial, ekonomi, dan/ atau keuangan di
Indonesia; atau
      c. menjalankan kebiasaan atau kegiatan sehari-hari di
Indonesia, antara lain aktivitas yang menjadi kegemaran
atau hobi.
    (3) Jangka waktu 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan
dengan menghitung lamanya subjek pajak orang pribadi
berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
baik secara terus menerus atau terputus-putus dengan bagian
dari hari dihitung penuh sebagai 1 (satu) hari.
    (4) Subjek pajak orang pribadi dianggap mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat ( 1) huruf c dapat dibuktikan dengan dokumen berupa:
      a. Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP);
      b. Visa Tinggal Terbatas (VITAS) dengan masa berlaku lebih
dari 183 ( seratus delapan puluh tiga) hari;
      c. Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dengan masa berlaku lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari;
      d. kontrak atau perjanjian untuk melakukan pekerjaan,
usaha, atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari; atau
      e. dokumen lain yang dapat menunjukkan niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia, seperti kontrak sewa
tempat tinggal lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari atau dokumen yang menunjukkan pemindahan
anggota keluarga.
       
    Pasal 3
    (1) Orang pribadi yang menjadi subjek pajak luar negen
merupakan:
      a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
      b. WNA yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalamjangka waktu
12 (dua belas) bulan; atau
      c. WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
        1. bertempat tinggal secara permanen di suatu tempat
di luar Indonesia yang bukan merupakan tempat
persinggahan;
        2. memiliki pusat kegiatan utama yang menunjukkan
keterikatan pribadi, ekonomi, dan/ atau sosial di luar
Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan:
          a) suam1 atau isteri, anak-anak, dan/ atau
keluarga terdekat bertempat tinggal di luar
Indonesia;
          b) sumber penghasilan berasal dari luar Indonesia;
dan/atau
          c) menjadi anggota orgamsas1 keagamaan,
pendidikan, sosial, dan/ atau kemasyarakatan
yang diakui oleh pemerintah negara setempat;
        3. memiliki tempat menjalankan kebiasaan atau
kegiatan sehari-hari di luar Indonesia;
        4. menjadi subjek pajak dalam negen negara atau
yurisdiksi lain; dan/ atau
        5. persyaratan tertentu lainnya.
    (2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c angka 1, angka 2, dan angka 3 dipenuhi secara
berjenjang dengan ketentuan:
      a. pemenuhan persyaratan bertempat tinggal di luar
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
angka 1 merupakan persyaratan yang harus dipenuhi;
      b. dalam hal WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalamjangka waktu
12 (dua belas) bulan telah memenuhi persyaratan
se bagaimana dimaksud pada
persyaratan pusat kegiatan
huruf a, pemenuhan
utama dan tempat
menjalankan kebiasaan di luar Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 dan angka 3 tidak
harus dipenuhi sepanjang WNI yang bersangkutan tidak
lagi memenuhi persyaratan bertempat tinggal atau
bermukim di Indonesia se bagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf a;
      c. dalam hal yang bersangkutan memenuhi persyaratan
bertempat tinggal di luar Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 maupun
bertempat tinggal atau bermukim di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a,
ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak
berlaku dan pemenuhan persyaratan dilanjutkan
berdasarkan persyaratan pusat kegiatan utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2;
      d. dalam hal pemenuhan persyaratan dilanjutkan
sebagaimana dimaksud pada huruf c, dan WNI yang
bersangkutan hanya memiliki pusat kegiatan utama di
luar Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c angka 2, pemenuhan persyaratan tempat
menjalankan kebiasaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c angka 3 tidak harus dipenuhi; dan
      e. dalam hal yang bersangkutan memenuhi persyaratan
bertempat tinggal dan pusat kegiatan utama di luar
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
angka 1 dan angka 2 sekaligus memenuhi persyaratan
bertempat tinggal dan pusat kegiatan utama di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
dan huruf b, ketentuan se bagaimana dimaksud pada
huruf d tidak berlaku dan pemenuhan persyaratan
dilanjutkan berdasarkan persyaratan tern pat
menjalankan kebiasaan di luar Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3.
    (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
angka 4 dan angka 5 merupakan persyaratan yang harus
dipenuhi.
    (4) Persyaratan status subjek pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c angka 4 terpenuhi dalam hal WNI menjadi
subjek pajak dalam negeri negara atau yurisdiksi lain yang
dapat dibuktikan dengan surat keterangan domisili atau
dokumen lain yang menunjukkan status subjek pajak dari
otoritas pajak negara atau yurisdiksi lain tersebut dengan
ketentuan:
      a. menggunakan bahasa Inggris;
      b. paling sedikit mencantumkan informasi mengenai:
        1. nama WNI terse but;
        2. tanggal penerbitan;
        3. periode berlakunya; dan
        4. nama dan ditandatangani atau diberi tanda setara
dengan tanda tangan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kelaziman di negara atau yurisdiksi
yang bersangkutan; dan
      c. periode sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 3
berakhir paling lama 6 ( enam) bulan se belum permohonan
penetapan status subjek pajak kepada Direktur Jenderal
Pajak.
    (5) Persyaratan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c angka 5 yaitu:
      a. telah menyelesaikan kewajiban perpajakan atas seluruh
penghasilan yang diterima atau diperoleh selama WNI
tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri; dan
      b. telah memperoleh Surat Keterangan WNI Memenuhi
Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
     
    Pasal 4
    (1) Untuk memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (5) huruf b, WNI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c harus:
      a. menyampaikan permohonan penetapan status subjek
pajak yang menyatakan bahwa WNI tersebut memenuhi
persyaratan sebagai subjek pajak luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) huruf a; dan
      b. melampirkan dokumen yang dapat membuktikan
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) huruf a.
    (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mengajukan permohonan secara elektronik melalui
saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
    (3) Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) belum tersedia, permohonan dapat dilakukan secara
tertulis dengan menyampaikan:
      a. secara langsung; atau
      b. melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa
kurir dengan bukti pengiriman surat,
      ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (4) Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan
hasil penelitian menerbitkan:
      a. Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi
Subjek Pajak Luar Negeri dalam hal WNI telah memenuhi
ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5); atau
      b. surat penolakan atas permohonan dalam hal WNI tidak
memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c,
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5),
      dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
lengkap.
    (5) Dalam hal batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) telah terlewati dan Kepala KPP atas
nama Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan,
permohonan WNI dianggap diterima.
    (6) Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek
Pajak Luar Negeri dalamjangka waktu paling lama 5 (lima) hari
setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
terlewati.
    (7) Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa:
      a. permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a;
      b. Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi
Subjek Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf a; dan
      c. surat penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b,
      tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (8) Dalam hal di kemudian hari ditemukan data dan/ atau
informasi bahwa kewajiban perpajakan belum atau belum sepenuhnya terpenuhi oleh WNI yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan ketetapan pajak berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 5
     
    Pasal 5
    (1) WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
diperlakukan sebagai orang pribadi yang meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2A Undang-Undang PPh dan menjadi subjek pajak
luar negeri sejak meninggalkan Indonesia.
    (2) WNI yang pada saat akan meninggalkan Indonesia dapat
menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki niat untuk
menjadi subjek pajak luar negeri berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5), dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan
sebagai Wajib Pajak nonefektif pada saat akan meninggalkan
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
    (3) Permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak nonefektif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Wajib
Pajak melalui:
      a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar;
      b. Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
yang berada di dalam wilayah kerja KPP tempat Wajib
Pajak terdaftar; atau
      c. saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
    (4) Permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak nonefektif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan
melampirkan dokumen pendukung yang dapat membuktikan
niat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kewajiban
perpajakannya telah terpenuhi.
    (5) WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap harus
melengkapi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) dalam hal telah secara nyata berada di luar Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan dengan mengajukan permohonan
se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat ( 1).
     
    Pasal 6
    (1) WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dan
Pasal 5 ayat (2) yang tidak menerima atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia tidak dikenai PPh
di Indonesia.
    (2) Dalam hal WNI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menerima atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia, penghasilan tersebut dikenai PPh
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan yang berlaku bagi subjek pajak luar negeri.
    (3) Dalam hal WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
di kemudian hari diketahui secara nyata tidak memenuhi
persyaratan sebagai subjek pajak luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) atau tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), terhadap WNI
dimaksud:
      a. penetapan sebagai Wajib Pajak nonefektif menjadi batal;
      b. tetap merupakan subjek pajak dalam negeri; dan
      c. dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku
bagi subjek pajak dalam negeri.
    (4) Dalam hal terhadap WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terdapat pemotongan PPh Pasal 26 Undang-Undang PPh sejak
penetapan sebagai Wajib Pajak nonefektif hingga pembatalan
sebagai Wajib Pajak nonefektif, PPh Pasal 26 dimaksud dapat
dikreditkan dalam menghitung pajak terutang untuk Tahun
Pajak yang bersangkutan.
     
    Bagian Kedua
    Kriteria Keahlian Tertentu serta Tata Cara Pengenaan
    Pajak Penghasilan bagi Warga Negara Asing
     
    Pasal 7
    (1) Atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang PPh, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, dikenai PPh sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh.
    (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), WNA yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenai PPh hanya atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia
dengan ketentuan:
      a. memiliki keahlian tertentu; dan
      b. berlaku selama 4 (em pat) Tahun Pajak yang dihitung sejak
menjadi subjek pajak dalam negeri.
    (3) Termasuk dalam pengertian penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh WNA
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di
Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dibayarkan di luar Indonesia.
    (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
terhadap WNA yang memanfaatkan P3B antara Pemerintah
Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra
P3B tempat WNA memperoleh penghasilan dari luar Indonesia.
       
    Pasal 8
    (1) WNA dengan keahlian tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) huruf a meliputi tenaga kerja asing yang
menduduki pos jabatan tertentu dan peneliti asing.
    (2) WNA dengan keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dipekerjakan oleh Pemberi Kerja, wajib memenuhi
persyaratan mengenai:
      a. penggunaan tenaga kerja asmg yang dapat menduduki
pos jabatan tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang
membidangi urusan pemerintah di bidang
ketenagakerjaan; atau
      b. peneliti asmg yang ditetapkan oleh menteri yang
membidangi urusan pemerintah di bidang riset.
    (3) Kriteria keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
      a. berkewarganegaraan asing;
      b. memiliki keahlian di bidang ilmu pengetahuan, teknologi,
dan/ atau matematika, yang dibuktikan dengan:
        1. sertifikat keahlian yang diterbitkan oleh lembaga
yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia atau
pemerintah negara asal tenaga kerja asing;
        2. ijazah pendidikan; dan/ atau
        3. pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun,
        di bidang ilmu atau bidang kerja yang sesuai dengan
bidang keahlian tersebut; dan
      c. memiliki kewajiban untuk melakukan alih pengetahuan.
    (4) Ketentuan mengenai pos jabatan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
lnl.
     
    Pasal 9
    (1) Jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b dihitung sejak WNA pertama kali
menjadi subjek pajak dalam negeri.
    (2) Dalam hal pada jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak
se bagaimana dimaksud pada ayat ( 1) WNA meninggalkan
Indonesia, batas akhir jangka waktu tersebut tetap dihitung
sejak WNA pertama kali menjadi subjek pajak dalam negeri.
       
    Pasal 10
    WNA dapat memilih untuk dikenai PPh hanya atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh di Indonesia atau memanfaatkan P3B
antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau
yurisdiksi mitra tempat WNA memperoleh penghasilan dari luar
Indonesia.
     
    Pasal 11
    (1) WNA yang memilih untuk dikenai PPh hanya atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) harus mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak.
    (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
    (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mengajukan permohonan secara elektronik melalui
saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
    (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mengajukan permohonan secara elektronik melalui
saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
    (4) Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) belum tersedia, permohonan dapat dilakukan secara
tertulis dengan menyampaikan:
      a. secara langsung; atau
      b. melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa
kurir dengan bukti pengiriman surat,
      ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (5) Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan
hasil penelitian menerbitkan:
      a. surat persetujuan atas permohonan pengenaan PPh
hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
Indonesia, apabila persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 terpenuhi; atau
      b. surat penolakan atas permohonan pengenaan PPh hanya
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
Indonesia, apabila persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 tidak terpenuhi, dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
lengkap.
    (6) Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa:
      a. surat persetujuan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf a; dan
      b. surat penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf b,
      tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    Pasal 12
    (1) WNA melaporkan penghasilan melalui Surat Pemberitahuan
Tahunan atas:
      a. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia,
jika diterbitkan surat persetujuan atas permohonan
pengenaan PPh hanya atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (5) huruf a; atau
      b. penghasilan yang diterima atau diperolehnya dari
Indonesia dan dari luar Indonesia, jika diterbitkan surat
penolakan atas permohonan pengenaan PPh hanya atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf b.
    (2) Sebelum melaporkan penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat ( 1), WNA melakukan penghitungan penghasilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3) Ketentuan mengenai penghi tungan pengenaan PPh
hanya atas penghasilan yang di terima atau diperoleh dari
Indonesia tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
     
    Pasal 13
    (1) WNA dengan keahlian tertentu yang telah menjadi subjek pajak
dalam negeri sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dapat dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh dari Indonesia sepanJang memenuhi
persyaratan:
      a. jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b belum
terlampaui; dan
      b. mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1).
    (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b disetujui, pengenaan PPh hanya atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia dihitung sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja · sampai dengan berakhirnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b.
     
    Bagian Ketiga
    Kriteria, Tata Cara, dan Jangka Waktu Tertentu untuk lnvestasi,
    Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen
    atau Penghasilan Lain yang Dikecualikan dari Objek Pajak, serta
    Perubahan Batasan Dividen yang Diinvestasikan
     
    Paragraf 1
    Dividen yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan
     
    Pasal 14
    (1) Dividen yang dikecualikan dari objek PPh merupakan Dividen
yang berasal dari:
      a. dalam negeri; atau
      b. luar negeri,
      yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
    (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Wajib Pajak dalam negeri.
     
    Pasal 15
    (1) Dividen yang berasal dari dalam negeri se bagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari objek
PPh dengan syarat harus diinvestasikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
    (2) Dividen yang berasal dari dalam negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak badan dalam negeri dikecualikan dari objek PPh.
       
    Pasal 16
    (1) Dalam hal Dividen se bagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) huruf a diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia kurang dari jumlah Dividen yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, Dividen
yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh.
    (2) Selisih dari Dividen yang diterima atau diperoleh dikurangi
dengan Dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
     
    Pasal 17
    (1) Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dikecualikan dari objek PPh.
    (2) Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus
diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan
usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam jangka waktu tertentu.
    (3) Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan:
      a. Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar
negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak; atau
      b. Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar
negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek
sesuai dengan proporsi kepemilikan saham.
     
    Pasal 18
    Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negen
yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf a dikecualikan dari
objek PPh sebesar Dividen yang diinvestasikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu
tertentu.
     
    Pasal 19
    Dalam hal Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar
negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 diinvestasikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia kurang dari Dividen yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak, Dividen yang diinvestasikan
dikecualikan dari pengenaan PPh.
     
    Pasal 20
    Selisih dari Dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dikenai PPh sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
     
    Pasal 21
    (1) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 7 ayat (2), Dividen yang dibagikan berasal dari
badan usaha di luar negen yang sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (3) huruf b, harus diinvestasikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu
tertentu, paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari
Laba Setelah Pajak.
    (2) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diinvestasikan sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
surat ketetapan pajak atas Dividen tersebut sehubungan
dengan penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh.
    (3) Dividen se bagaimana dimaksud pada ayat ( 1)
yang diinvestasikan setelah Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Dividen
terse but sehubungan dengan penerapan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) UndangUndang
PPh, Dividen dimaksud tidak dikecualikan dari
pengenaan PPh.
    (4) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Dividen yang berasal dari Laba Setelah Pajak mulai Tahun
Pajak 2020, yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 2
November 2020.
     
    Pasal 22
    (1) Dalam hal Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
Laba Setelah Pajak, Dividen yang diinvestasikan dikecualikan
dari pengenaan PPh.
    (2) Atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) Laba Setelah Pajak
dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai PPh berdasarkan Pasal 17 UndangUndang
PPh.
    (3) Atas sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan Dividen
yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
dikurangi dengan selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tidak dikenai PPh.
     
    Pasal 23
    (1) Dalam hal Dividen se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Laba
Setelah Pajak, Dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari
pengenaan PPh.
    (2) Sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan Dividen
yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dikenai PPh.
     
    Pasal 24
    (1) Dividen yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat ( 1) merupakan Dividen
yang dibagikan berdasarkan:
      a. rapat umum pemegang saham; atau
      b. Dividen interim sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
    (2) Rapat umum pemegang saham atau Dividen interim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk rapat sejenis
dan mekanisme pembagian Dividen sejenis.
     
    Paragraf 2
    Penghasilan Lain yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan
     
    Pasal 25
    (1) Penghasilan lain yang dikecualikan dari objek PPh merupakan
penghasilan lain yang berasal dari luar negeri yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak.
    (2) Penghasilan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan:
      a. penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap
di luar negeri; atau
      b. penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha
tetap.
    (3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Wajib Pajak dalam negeri.
     
    Pasal 26
    (1) Penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)
huruf a yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan atau
digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka
waktu tertentu.
    (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha
tetap di luar negeri harus diinvestasikan atau digunakan
untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu,
paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Laba
Setelah Pajak.
     
    Pasal 27
    (1) Dalam hal penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk
usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (2) diinvestasikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30% (tiga
puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak,
penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap
di luar negen yang diinvestasikan dikecualikan dari
pengenaan PPh.
    (2) Selisih dari 30% (tiga puluh persen) Laba Setelah Pajak
dikurangi dengan penghasilan setelah pajak dari suatu
bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai PPh berdasarkan
Pasal 17 Undang-Undang PPh.
    (3) Sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan penghasilan
setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri
yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan atas selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dikenai PPh.
     
    Pasal 28
    (1) Dalam hal penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk
usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (2) diinvestasikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia lebih dari 30% (tiga
puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak,
penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap
di luar negeri yang diinvestasikan dikecualikan dari
pengenaan PPh.
    (2) Sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan penghasilan
setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri
yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dikenai PPh.
     
    Pasal 29
    (1) Penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha
tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikecualikan dari
objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka
waktu tertentu.
    (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk
usaha tetap harus memenuhi syarat:
      a. penghasilan berasal dari usaha aktif di luar negeri; dan
      b. bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar
negen.
    (3) Penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha
tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
penghasilan yang berasal dari luar negeri yang bersumber dari
kegiatan usaha di luar negeri.
     
    Pasal 30
    (1) Dalam hal penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk
usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
kurang dari jumlah penghasilan lain yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, penghasilan dari luar negeri tidak
melalui bentuk usaha tetap yang diinvestasikan dikecualikan
dari pengenaan PPh.
    (2) Selisih dari penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk
usaha tetap yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dikurangi dengan penghasilan dari luar negeri tidak melalui
bentuk usaha tetap yang diinvestasikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai PPh berdasarkan Pasal 17 UndangUndang
PPh.
     
    Paragraf 3
    Kredit Pajak Luar Negeri
     
    Pasal 31
    (1) Pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di
luar negeri atas Dividen yang berasal dari luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 atau penghasilan
lain yang berasal dari luar negen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 yang dikecualikan dari objek PPh,
berlaku ketentuan:
      a. tidak dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang;
      b. tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau pengurang
penghasilan; dan/ atau
      c. tidak dapat dimintakan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak.
    (2) Dalam hal Dividen yang berasal dari luar negeri atau
penghasilan lain yang berasal dari luar negeri yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak tidak seluruhnya diinvestasikan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penghitungan
kredit pajak atas pemotongan pajak di luar negeri dilakukan
secara proporsional.
     
    Pasal 32
    Ketentuan mengenai penghitungan atas pengecualian dari objek
PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 19, Pasal 22,
Pasal 27, dan Pasal 30 tercantum dalam Lampiran VI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    Paragraf 4
    Kriteria, Tata Cara, dan Jangka Waktu Tertentu
    untuk Investasi
     
    Pasal 33
    Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 17,
Pasal 26, dan/ atau Pasal 29 harus memenuhi kriteria, tata cara,
dan jangka waktu tertentu.
     
    Pasal 34
    Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 17,
Pasal 26, dan/ atau Pasal 29 dilakukan sesuai dengan kriteria
bentuk investasi:
    a. surat berharga Negara Republik Indonesia dan surat berharga
syariah Negara Republik Indonesia;
    b. obligasi atau sukuk Badan Usaha Milik Negara yang
perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
    c. obligasi atau sukuk lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh
pemerintah yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
    d. investasi keuangan pada bank perseps1 termasuk bank
syariah;
    e. obligasi atau sukuk perusahaan swasta yang perdagangannya
diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
    f. investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan
badan usaha;
    g. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh
pemerintah;
    h. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
    i. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
    j. kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
    k. penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya dalam
bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan kecil di
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/ atau
    l. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
     
    Pasal 35
    (1) Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
sampai dengan huruf e dan huruf 1, ditempatkan pada
instrumen investasi di pasar keuangan:
      a. efek bersifat utang, termasuk medium term notes;
      b. sukuk;
      c. saham;
      d. unit penyertaan reksa dana;
      e. ef ek beragun aset;
      f. unit penyertaan dana investasi real estat;
      g. deposito;
      h. tabungan;
      i. giro;
      j. kon trak berj angka yang di perdagangkan di bursa
berjangka di Indonesia; dan/ atau
      k. instrumen investasi pasar keuangan lainnya termasuk
produk asurans1 yang dikaitkan dengan investasi,
perusahaan pembiayaan, dana pensiun, atau modal
ventura, yang mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
    (2) Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf f
sampai dengan huruf k, ditempatkan pada instrumen investasi
di luar pasar keuangan:
      a. investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah
dengan badan usaha;
      b. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan
oleh pemerintah;
      c. investasi pada properti dalam bentuk tanah dan/ atau
bangunan yang didirikan di atasnya;
      d. investasi langsung pada perusahaan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
      e. investasi pada logam mulia berbentuk emas batangan
atau lantakan;
      f. kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
      g. penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya
dalam bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan
kecil di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah;
dan/atau
      h. bentuk investasi lainnya di luar pasar keuangan yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
    (3) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf d dilakukan melalui mekanisme penyertaan modal ke
dalam perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas.
    (4) Sektor yang menjadi prioritas pemerintah dalam investasi
sektor riil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
meliputi sektor yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional.
    (5) Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak
termasuk properti yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.
    (6) Logam mulia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf e merupakan emas batangan atau lantakan dengan
kadar kemurnian 99,99% (sembilan puluh sembilan koma
sembilan puluh sembilan persen).
    (7) Emas batangan atau lantakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) merupakan emas yang diproduksi di Indonesia, dan
mendapatkan akreditasi dan sertifikat dari Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan/ atau London Bullion Market Association
(LBMA).
     
    Pasal 36
    (1) Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan
paling lambat:
      a. akhir bulan ketiga, untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau
      b. akhir bulan keempat, untuk Wajib Pajak badan,
      setelah Tahun Pajak berakhir, untuk Tahun Pajak diterima
atau diperolehnya Dividen atau penghasilan lain.
    (2) Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan
paling singkat selama 3 (tiga) Tahun Pajak terhitung sejak
Tahun Pajak Dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh.
    (3) Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak dapat
dialihkan, kecuali ke dalam bentu,k investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35.
     
    Paragraf 5
    Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen
    atau Penghasilan Lain
     
    Pasal 37
    (1) Pengecualian dari objek PPh atas Dividen yang berasal dari
dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf a yang diterima atau diperoleh:
      a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1); atau
      b. Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2),
      dilaksanakan dengan melaporkan Dividen yang berasal dari
dalam negeri dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai
penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
    (2) Dividen yang berasal dari dalam negeri yang dikecualikan dari
objek PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan pemotongan PPh oleh pemotong pajak tanpa Surat
Keterangan Bebas.
    (3) Pengecualian dari objek PPh atas Dividen yang berasal dari luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b
dilaksanakan dengan melaporkan Dividen yang berasal dari luar negeri dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai
penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
     
    Pasal 38
    Pengecualian dari objek PPh atas penghasilan lain yang berasal dari
luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan
dengan melaporkan penghasilan lain yang berasal dari luar negeri
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai penghasilan yang
tidak termasuk objek pajak.
     
    Pasal 39
    Dividen atau penghasilan lain yang tidak memenuhi kriteria bentuk
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, danjangka waktu investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, terutang PPh saat Dividen
atau penghasilan lain diterima atau diperoleh.
     
    Pasal 40
    (1) PPh yang terutang atas Dividen yang berasal dari dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan/ atau
Pasal 39, wajib disetor sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri dengan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
    (2) PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
Dividen diterima atau diperoleh.
    (3) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pembayaran PPh
yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan telah
mendapat validasi dengan NTPN dianggap telah
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh sesuai dengan
tanggal validasi.
     
    Pasal 41
    (1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1),
Pasal 17 ayat (1), dan/atau Pasal 25 ayat (1) harus
menyampaikan laporan realisasi investasi.
    (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan laporan secara
elektronik melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
    (3) Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) belum tersedia, penyampaian laporan dapat dilakukan
secara tertulis dengan menyampaikan:
      a. secara langsung; atau
      b. melalui pos atau perusahaan Jasa ekspedisi atau jasa
kurir dengan bukti pengiriman surat,
      ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (4) Wajib Pajak harus menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1):
      a. secara berkala paling lambat pada akhir bulan ketiga
untuk Wajib Pajak orang pribadi atau akhir bulan
keempat untuk Wajib Pajak badan setelah Tahun Pajak
berakhir; dan
      b. disampaikan sampai dengan tahun ketiga sejak Tahun
Pajak diterima atau diperolehnya Dividen atau
penghasilan lain.
    (5) Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa laporan realisasi
investasi tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (6) Ketentuan mengenai penyampaian laporan tercantum dalam
Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
     
    Pasal 42
    Pasal 43
    Pasal 44
    Pasal 45
    Pasal 46
    Pasal 47
    Pasal 48
    Pasal 49
    Pasal 50
    Pasal 51
    Pasal 52
    Pasal 53
    Pasal 54
    Pasal 55
    Pasal 56
    Pasal 57
    Pasal 58
    Pasal 59
    Pasal 60
    Pasal 61
    Pasal 62
    Pasal 63
    Pasal 64
    Pasal 65
    Pasal 66
    Pasal 67
    Pasal 68
    Pasal 69
    Pasal 70
    Pasal 71
    Pasal 72
    Pasal 73
    Pasal 74
    Pasal 75
    Pasal 76
    Pasal 77
    Pasal 78
    Pasal 79
    Pasal 80
    Pasal 81
    Pasal 82
    Pasal 83
    Pasal 84
    Pasal 85
    Pasal 86
    Pasal 87
    Pasal 88
    Pasal 89
    Pasal 90
    Pasal 91
    Pasal 92
    Pasal 93
    Pasal 94
    Pasal 95
    Pasal 96
    Pasal 97
    Pasal 98
    Pasal 99
    Pasal 100
    Pasal 101
    Pasal 102
    Pasal 103
    Pasal 104
    Pasal 105
    Pasal 106
    Pasal 107
    Pasal 108
    Pasal 109
    Pasal 110
    Pasal 111
    Pasal 112
    Pasal 113
    Pasal 114
    Pasal 115
    Pasal 116
    Pasal 117
    Pasal 118
    Pasal 119
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
   
   
  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Februari 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI  INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Februari 2021

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA
 
 
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 153

Comments