BIAYA PAJAK DAN NON PAJAK UNTUK TAMBANG BATUBARA 2020

BIAYA PAJAK DAN NON PAJAK UNTUK TAMBANG BATUBARA
Minggu, 09 Juni 2013
ASPEK PAJAK DAN NON PAJAK PADA IND BATUBARA

ASPEK PERPAJAKAN DAN  PENDAPATAN NEGARA NON PAJAK SERTA PAJAK DAERAH
DALAM
INDUSTRI PERTAMBANGAN MINERBA



I.               PENDAHULUAN

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, seperti tersebut dalam Pasal 1 Angka 1, yang menyatakan bahwa : Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang.

Dengan demikian secara garis besar, perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha industri pertambangan, mempunyai siklus usaha, meliputi :

·                       Penyelidikan umum,
·                       Eksplorasi,
·                       Studi Kelayakan,
·                       Konstruksi,
·                       Pertambangan/Eksploitasi,
·                       Reklamasi

II.             KEWAJIBAN PERPAJAKAN DAN PENDAPATAN NEGARA/DAERAH LAINNYA

Dalam siklus usaha tersebut mengandung kewajiban perpajakan, yaitu :

A.            KEGIATAN TEKNIS PERTAMBANGAN (BORONGAN)

1.             Penyelidikan Umum

         Untuk menentukan potensi mineral pada suatu daerah tertentu, perlu dilakukan pengujian geologis, yang dilakukan dengan menggunakan Jasa dari Peneliti Geologis sebagai Peneliti.
         Jasa Peneliti (pihak lain) merupakan obyek PPN dan PPh Pasal 23/26 dengan subyek pajak adalah pelaksananya.


2.             Eksplorasi

         Merupakan rangkaian kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral, pemetaan wilayah dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang lokasi, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya serta info lingkungan social dan lingkungan hidup.
         Jasa atas kegiatan ini  (pihak lain) merupakan obyek PPN dan PPh Ps. 23/26 dengan subyek pajak adalah pelaksananya.


3.             Studi Kelayakan

         Dibutuhkan sebagai informasi kelayakan ekonomis dan teknis pertambangan, proses analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pasca tambang.
         Studi Kelayakan tersebut memuat data dan keterangan mengenai usaha pertambangan tersebut, yang dilakukan oleh ahli mengenai hal tersebut.
         Atas jasa kegiatan pengujian ini (pihak lain), maka kewajiban pajak yang melekat adalah PPN dan PPh Ps. 23.

4.             Konstruksi

         Siklus kegiatan selanjutnya setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara ekonomis, teknis dan lingkungan, maka dilakukan pengembangan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi, sehingga Jasa Konstruksi  (pihak lain) terkena PPN dan PPh Pasal 4 ayat (2).

5.             Pertambangan/Eksploitasi :

         Kegiatan Eksploitasi ini pada umumnya meliputi kegiatan :

a.             Proses pembukaan lahan (land clearing),
b.             Pengeboran dan Penggalian,
c.              Pengolahan dan pemurnian
d.             Pengangkutan dan Penjualan

         Atas Jasa yang dilakukan oleh pihak lain tersebut, ditetapkan kewajiban perpajakan PPh Ps. 23/26 dan PPN

6.             Reklamasi

         Reklamasi adalah proses rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan penambangan. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak lain, maka memiliki kewajiban pajak berupa PPh Pasal 23/26 dan PPN.

B.             PPh Ps. 21

                   Kewajiban PPh Ps. 21 ditetapkan untuk :

1.      Pegawai Tetap,
2.      Pegawai Tidak Tetap,
3.      Orang Pribadi yang bukan pegawai

C.             Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) :
      
1.             Undang-Undang/Peraturan/Surat Edaran

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau bangunan dan yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya;
    Pengenaan PBB sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) diatur di dalam :
a.               Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara,
b.               Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-64/PJ/2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2012. Di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan PBB Mineral dan Batubara adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara.
Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minerba meliputi wilayah izin pertambangan atau wilayah pertambangan sejenis dan wilayah di luar wilayah izin pertambangan atau wilayah pertambangan sejenis yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minerba.
2.             Obyek Pajak Bumi  dan Bangunan
a.             Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu  :
1)             Permukaan bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas pantai (offshore),
2)             Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi.
Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi : areal produktif, areal belum produktif (areal cadangan produksi dan areal yang belum dimanfaatkan), areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman.
Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan operasi produksi.
b.              Obyek pajak bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal offshore.
3.             Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar pengenaan dari PBB sektor pertambangan Minerba adalah NJOP yang merupakan penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan.
NJOP bumi areal onshore atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang kegiatan operasi produksi merupakan hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi.
NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi.
NJOP bangunan merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan.
Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:
a.               Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas areal onshore.  
Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masing-masing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal belum dimanfaatkan dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis, dan areal cadangan produksi, areal tidak produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum dimanfaatkan.
b.               Tubuh bumi operasi produksi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi untuk tubuh bumi operasi produksi dengan luas Wilayah Kerja.
Nilai bumi untuk tubuh bumi operasi produksi merupakan perkalian Angka Kapitalisasi dengan hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum Tahun Pajak.
Hasil bersih ditentukan melalui pengurangan pendapatan kotor dengan biaya produksi galian tambang sedangkan besarnya Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
c.                Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore ditentukan dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal daratan terdekat dengan areal offshore di wilayah Indonesia.
d.               Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut :
1)             Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
2)             Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
3)             Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.
e.               Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan PBB Sektor Pertambangan Non Migas  Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C  sebagaimana Diatur Dengan Surat Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan penambangan sebagai berikut :
1)             Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
2)             Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
3)             Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
4)             Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.

D.            IUP atau IUPK

UU Minerba yang baru yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU No. 4/2009) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggantikan UU No. 11/1967.
Usaha pertambangan sesuai dengan Pasal 35 UU No. 4/2009 dilaksanakan dalam bentuk:
1.            IUP atau Izin Usaha Pertambangan,
2.            IPR atau Izin Pertambangan Rakyat, dan
3.            IUPK atau Izin Usaha Pertambangan Khusus. Ketentuan Fiskal (Perpajakan)

Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.
Pendapatan negara yang dimaksud yang terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Adapun penerimaan pajak yang dimaksud terdiri atas pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta bea masuk dan cukai.
Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
III.           
              
K       KETENTUAN FISKAL LAINNYA

A.             Tarif perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu/prevailing law (Pasal 133 Ayat 3 dan Ayat 5, Pasal 136).

B.             Adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni 6% untuk pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah (Pasal 134 Ayat 1).

C.             Besaran tarif iuran produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi dan harga (Pasal 137 Ayat 1).

IV.                            DINAMIKA PERPAJAKAN

Dengan dibentuknya KPP Pertambangan dan KPP Migas,  maka Direktorat Jenderal Pajak dapat semakin menggali penerimaan dari kedua sektor tersebut.
Selain itu, dengan dikeluarkannya PP No 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas), dimana jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan PPh, yang dulunya hanya mencakup 5 biaya, sekarang mencakup 21 biaya, maka tunggakan-tunggakan pajak perusahaan migas diharapkan dapat diselesaikan lebih cepat.
Langkah Direktorat Jenderal Pajak dengan membentuk KPP Pertambangan dan KPP Migas juga untuk memenuhi harapan besar masyarakat luas agar DJP tegas dalam menagih tunggakan-tunggakan pajak perusahaan-perusahaan besar pertambangan dan migas.
Pembentukan KPP Pertambangan dan KPP Migas diharapkan oleh Pemerintah agar dapat memenuhi harapan masyarakat Indonesia akan adanya keadilan dalam membayar pajak antara perusahaan-perusahaan besar migas dan pertambangan dengan perusahaan-perusahaan menengah dan kecil di Indonesia yang juga wajib bayar pajak.

V.            PERLAKUAN AKUNTANSI DAN PERPAJAKAN ATAS BIAYA PRA OPERASI (Pre Operating Cost)
Terdapat cukup banyak  praktisi Akuntansi  di berbagai perusahaan  yang keliru memperlakukan Biaya Pra-Operasi dalam  pelaporan keuangannya. Kerap ditemukan Biaya Pra=Operasi  yang timbul sebelum perusahaan beroperasi  secara komersial, dimasukkan seluruhnya  sebagai Biaya Ditangguhkan di Neraca.
Menurut PSAK 6  mengenai Akuntansi dan Pelaporan  bagi perusahaan dalam tahap pengembangan, dalam Paragraf 5, diatur secara jelas, bahwa : Prinsip Akuntansi yang berlaku umum berlaku untuk semua perusahaan  dalam tahap pengembangan (pra-operasi) baik dalam pengakuan pendapatan maupun dalam menentukan  apakah biaya dibukukan sebagai beban pada periode berjalan, atau ditangguhkan pembebanannya (dikapitalisasi)  untuk disusutkan/diamortisasi  selama periode sesuai dengan pemulihan manfaatnya  di masa depan. Penangguhan pembebanan tersebut  hanya terbatas pada biaya-biaya yang memiliki masa manfaat di masa depan  yang antara lain  meliputi beban pendirian perusahaan
Dari paragraph tersebut diatas, jelas bahwa tidak semua biaya yang timbul selama perusahaan  masih dalam kondisi pra-operasi  dapat ditangguhkan (dikapitalisasi). Penangguhan pembebanan hanya diperbolehkan sebatas  untuk biaya yang nyata-nyata  dapat memberikan manfaat untuk dapat lebih dari satu periode Akuntansi.
Untuk biaya yang tidak memenuhi criteria tersebut seperti misalnya, biaya kantor, biaya umum harus langsung dibebankan dalam laba rugi tahun berjalan.
Peraturan Perpajakan juga mengatur perlakuan pencatatan fiscal  atas biaya pra-operasi. Dalam Undang-Undang  Pajak Penghasilan yang diubah terakhir dengan UU No. 17  tahun 2000 pasal  11A ayat 6, dijelaskan bahwa :  Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial  yang mempunyai masa manfaat  lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.

Kemudian, dalam bagian Penjelasan diuraikan lebih jauh bahwa  dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersil  (yang dapat dikapitalisasi/ditangguhkan)  adalah biaya-biaya yang dikeluarkan  sebelum operasi komersil, misalnya : biaya strudi kelayakan, biaya produksi percobaan, tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti Gaji Pegawai, Biaya Rekening Listrik dan Telepon,  dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang bersifat rutin ini, tidak dapat dikapitalisasi tetapi  dibebankan sepenuhnya pada  pada tahun pengeluaran tersebut.

Baca Juga Aptudate 2020 :

Aspek Perpajakan Jasa Angkutan Udara

Jasa yang dimaksud adalah jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri. Kewajiban pajaknya adalah menyetor PPh 15 sebesar 1,8% dari omzet untuk penerbangan di dalam negeri dan PPh 15 sebesar 2,64% dari omzet untuk penerbangan di luar negeri. Jenis pajak ini sesuai PMK 80 Tahun 2012 tidak dikenai PPN.

Aspek Perpajakan Jasa Angkutan Udara Tertentu :

Perusahaan pelayaran dalam negeri
1. Laba bersih = 4% x Omzet Bruto
2. Pajak penghasilan = 1,2% x Omzet Bruto

Pelayaran asing dan/atau perusahaan maskapai penerbangan
1. Laba bersih = 6% x Omzet Bruto
2. Pajak penghasilan = 2.64% x Omzet Bruto

Baca Selengkapnya   

Aspek Perpajakan Angkutan Umum Air

Ada berbagai jenis tarif Pajak Penghasilan tergantung pada industri bisnis seperti Jasa Angkutan Umum di Air adalah sebagai berikut:

Perusahaan pelayaran
1. Laba bersih = 6% x Omzet Bruto
2. Pajak penghasilan = 1,8% x Omzet Bruto

Perusahaan pelayaran dalam negeri
1. Laba bersih = 4% x Omzet Bruto
2. Pajak penghasilan = 1,2% x Omzet Bruto

Pelayaran asing
1. Laba bersih = 6% x Omzet Bruto
2. Pajak penghasilan = 2.64% x Omzet Bruto

Baca Selengkapnya 

Aspek Perpajakan Bunga Deposito dan Tabungan

Bunga dari Deposito DHE dalam mata uang rupiah yang ditempatkan di dalam negen pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:

1. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito DHE dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;

2. Tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito DHE dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan; dan

3. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito DHE dengan jangka wakru 6 (enam) bulan atau lebih dari 6 (enam) bulan.

Baca Selengkapnya  

Kewajiban Perpajakan Sewa Alat Berat

Kewajiban Perpajakan Jenis Usaha Sewa Alat Berat bentuk Badan Hukum ataupun Orang Pribadi adalah sebagi berikut :

1. Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) sebesar 2%

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Sebesar 10%

3. Pajak Penghasilan Pasal 21 (Orang Pribadi)

4. Pajak Penghasilan Pasal 29 (Badan Hukum)

Baca Selengkapnya      

Kewajiban Perpajakan Jasa Angkutan Darat

Kewajiban Perpajakan Jasa Angkutan Umum di Darat :

1. Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23 Tarif 2%)

Jasa Angkutan Umum termasuk objek pajak PPh 23 di mana tarif pajak sebesar 2% berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf C angka 2 UU Nomor 36 tahun 2008. Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) sebesar 2% tersebut,menjadi pengkredit untuk pajak penghasilan Pasal 29 (PPh 29) pada akhir tahun.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Dalam Jasa Angkutan Umum Darat, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di kenakan 10% jika perusahaan atau pengusaha jasa angkutan umum darat tersebut memiliki aset berupa jenis kendaraan angkutan darat dengan menggunakan tanda nomor kendaraan dengan dasar tulisan hitam termasuk di dalamnya kereta api (Plat Hitam).

3. Pajak Penghasilan Pasal 25/29 (PPh 29)

Untuk Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25/29 Pengusaha Jasa Angkutan Umum Darat sesuai Perpu Nomor 5 Tahun 2008 yang di perbaharui dengan ketetapan PP No 1 Tahun 2020 untuk pengenaan pajak penghasilan yang tidak memenuhi syarat PP 46 Tahun 2013 atau omset peredaran brotu di atas 4,8M/Tahun dikenakan sesuai perturan perpajakan yang berlaku secara umum, yaitu sesuai tarif pajak yang di tetapkan PP No 1 Tahun 2020.

Baca Selengkapnya   

Kewajiban Perpajakan Jasa Ekspedisi

Kali ini saya akan berbagi aspek dan kewajiban apa saja yang harus di penuhi oleh pengusaha jasa ekspedisi, di kecualikan untuk jasa ekspedisi perairan, yang di tetapkan aturan pajak secara khusus.

Secara umum jasa ekpedisi harus memenuhi kewajiban perpajakan, yaitu:

1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2. Pajak Atas Penyerahan Jasa (PPh 23)

Baca Selengkapnya   

Pajak

  1. Aspek Perpajakan Jasa Angkutan Udara
  2. Aspek Perpajakan Angkutan Umum Air
  3. Aspek Perpajakan Bunga Deposito dan Tabungan
  4. Kewajiban Perpajakan Sewa Alat Berat
  5. Petunjuk Pengisian SPT 1770S
  6. Cara Membuat Faktur Pajak
  7. Cara Pelaporan PPh 23/26 Menggunakan e-Bupot
  8. Kewajiban Perpajakan Jasa Angkutan Darat
  9. Syarat Permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak
  10. Kewajiban Perpajakan Jasa Ekspedisi
  11. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  12. Contoh Perhitungan PPN Secara Jabatan
  13. ASPEK PERPAJAKAN JASA KONSTRUKSI
  14. CONTOH PENGHlTUNGAN PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH
  15. Contoh Perhitungan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2020
  16. Contoh Perhitungan PPh Badan 2022
  17. Barang dan Jasa Tidak Kena PPN
  18. Barang dan Jasa Seperti apa yang di kenakan PPN?
  19. Cara Menghitung PPN Kurang Bayar
  20. Panduan Lengkap Perhitungan Pajak Penghasilan PPh 21 untuk Pemula
  21. Contoh Perhitungan PPh 21 Penghasilan Neto Rp.0 sampai dengan Rp.50.000.000
  22. Contoh Perhitungan PPh 21 Penghasilan Neto Rp.50.000.000 sampai dengan Rp.250.000.000
  23. Contoh Perhitungan PPh 21 Penghasilan Neto Rp.250.000.000 sampai dengan Rp.500.000.000
  24. Contoh Perhitungan PPh 21 Penghasilan Neto di atas Rp.500.000.000
  25. Perhitungan PPh Badan Omset lebih dari 4,8M dan/atau Omset kurang dari 50M setahun
  26. Penerimaan Pajak Bakal Minus Lebih dari 10%
  27. Perlakuan Leasing Dalam Perpajakan
  28. Cara Mudah Menghitung PPh 21 Untuk Banyak Karyawan
  29. Solusi E-Faktur Error ETAX 40001
  30. Cara Menghitung PPh 21 Wanita Berstatus Kawin
  31. Tata Cara Menyelesaikan Kesalahan Dalam Pembayaran atau Penyetoran Pajak
  32. Batas waktu Pelaporan Perpajakan – (SPT)
  33. Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Perpajakan

Comments