Aspek Perpajakannya Perusahaan ekspedisi

Aspek perpajakannya Perusahaan ekspedisi atau EMKL MENGAJU PADA,

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, antara lain mengatur:

1.         Pasal 1 angka 19, bahwa Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2.         Pasal 4 huruf c, bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
3.         Pasal 4A ayat (3) sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, antara lain mengatur Pasal 5, menetapkan jenis-jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Namun jasa freight forwarding tidak termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Atas penyerahan jasa freight forwarding oleh perusahaan Bapak kepada customer dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar penggantian yang diminta atau seharusnya diminta oleh perusahaan Bapak sebagai pemberi jasa freight forwarding .

Dalam hal dokumen-dokumen pabean (berupa Faktur Pajak, invoice dan lain-lain) untuk menagih biaya atas jasa-jasa dari shipping tine, airline atau pihak ketiga dibuat langsung atas nama:

1. Penerima jasa (konsumen perusahaan Bapak), maka biaya-biaya tersebut tidak termasuk kedalam Dasar Pengenaan Pajak karena merupakan reimbursement; atau
2. Perusahaan Bapak dan bukan atas nama penerima jasa (konsumen perusahaan Bapak), maka biaya-biaya tersebut bukan merupakan reimbursement, sehingga merupakan bagian dari Dasar Pengenaan Pajak yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Selanjutnya apabila terdapat perbedaan jumlah antara biaya-biaya yang dibayarkan oleh perusahaan Bapak kepada shipping line, airline atau pihak ketiga dengan yang dimintakan oleh perusahaan Bapak kepada customer. maka selisihnya merupakan bagian dari Dasar Pengenaan Pajak.

Sesuai PMK-244 yang efektif pertanggal 01 Januari 2009 Jenis Jasa freight forwarding tdk lagi dipotong PPh Pasal 23.
Perusahaan ekspedisi atau EMKL itu pemberlakuan pajaknya mengacu ke peraturan
atas penyerahan jasa ekspedisi terutang ppn.
dasar hukumnya berikut rekan:
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 242/PJ.532/1997

TENTANG

PPN ATAS JASA ANGKUTAN DAN JASA EKSPEDISI MUATAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 13 Nopember 1996 hal tersebut pada pokok surat, dengan ini 
disampaikan penjelasan sebagai berikut :

1. Sesuai dengan Pasal 4A Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 jis. Pasal 9 angka 9 dan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 
50 Tahun 1994, maka jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau, maupun di sungai yang 
dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh swasta, dan jasa angkutan udara luar negeri, termasuk 
di dalamnya jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa 
angkutan udara luar negeri tersebut, merupakan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

2. Memperhatikan penegasan pada butir 5 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 
SE-51/PJ.51/1995 tanggal 16 Oktober 1995 dan bagian usaha jasa angkutan di darat pada umumnya, 
maka jasa angkutan umum di darat adalah kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang dengan 
mempergunakan kendaraan bermotor dan/atau alat angkutan darat lainnya, yang disediakan untuk 
umum dengan dipungut bayaran, selain dengan cara persewaan atau cara lain yang dapat 
dipersamakan dengan itu, baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, dan sepanjang kendaraan 
bermotor tersebut menggunakan plat dasar nomor polisi dengan warna kuning.

3. Mengacu kepada pengertian jasa angkutan umum di darat tersebut pada butir 2 dan memperhatikan 
kegiatan angkutan di laut, di danau maupun di sungai pada umumnya, maka jasa angkutan umum 
di laut, di danau maupun di sungai adalah kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang dengan 
mempergunakan kapal laut, kapal danau maupun kapal sungai dan/atau alat angkutan laut, alat 
angkutan danau maupun alat angkutan sungai lainnya, yang disediakan untuk umum dengan dipungut 
bayaran, selain dengan cara persewaan atau cara lain yang dapat dipersamakan dengan itu, baik 
dalam trayek maupun tidak dalam trayek.

4. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1996, atas penyerahan 
Barang Kena Pajak (BKP) antar Pengusaha Kena Pajak EPTE, PPN dan PPn BM yang terutang tidak 
dipungut, dan atas penyerahan BKP oleh produsen dari Daerah Pabean Indonesia lainnya kepada 
perusahaan berstatus EPTE dan/atau Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat untuk diolah lebih 
lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan perpajakan terhadap barang 
yang diekspor.

5. Berdasarkan ketentuan pada butir 1 sampai dengan 4 di atas, serta memperhatikan isi surat Saudara, 
diberikan penegasan sebagai berikut :
5.1. Jasa angkutan penumpang dan/atau barang, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai jasa
angkutan umum di darat, di laut, di danau maupun di sungai, dan jasa angkutan udara luar
negeri sebagaimana dimaksud pada ketentuan tersebut pada butir 1 sampai dengan 3,
dikecualikan dari pengenaan PPN.
5.2. Jasa ekspedisi muatan kapal laut dan udara (EMKL dan EMKU), adalah Jasa Kena Pajak 
karena tidak termasuk dalam jenis-jenis jasa yang tidak dikenakan PPN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994, sehingga atas
penyerahan jasa tersebut terutang PPN.
5.3. Oleh karena Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1996 hanya mengatur fasilitas perpajakan 
atas penyerahan BKP, tidak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, maka atas penyerahan jasa 
ekspedisi terutang PPN.
dilaporkan tiap bulan Psl. 25, PPN , dan PPh Masa 21.
krn yg Rp 3 jtu itu murni cost to cost ( dokumen atas nama pihak ke 3 ,tidak ada mrk up n down,dolkumen asli dikasih ke pihak ke 3) tidak terutang PPN maupun pph
klo menurut saya yg Rp 500.000 ribu itu terutang ppn krn jasa handling
Tergantung kebiakan masing perusahaan mao digabung ato gak...
biasa nya utk reimbursement kita tagih nya 1> kita tagih invoice debit note sebesar 3 jt (tidak terutang ppn)dgn melmpirkan bukti bahwa itu adl cost to cost
dan 2> 500 ribunya dengan invoice yg terutang ppn (terpisah dari tagihan reimbursement)
tagihan dr perusahaan EMKL tertera, jasa handling, storage, administari fee, trucking fee, collection fee, cargo charges,EDI fee. Apakah terhutang PPh 23 atas jasa2 yang tercantum dalam tagihan dari perusahaan EMKL??

PPn terutang sebesar jasa handling/jasa perantara pengurusan transportasi saja.
Beban lain (umpama : tagihan dari PT. X EMKL atau nama perusahaan pemberi jasa lainnya) adalah reimbursemen cost, (bukan objek PPn)

silahkan dicocokan dengan UU pph pasal 23 dan PMK 244 tahun 2008, jika masuk dalam kategori yang disebutkan dalam peraturan tersebut maka terutang pph pasal 23 namun jika tidak termasuk berarti tidak terutang.
UNTUK KIRIMAN PAKET
terutang 1% itu untuk jasa pengiriman paket (menggunakan Nilai Lain sebagai DPP). Dengan rincian, sbb :
DPP = 10% X Tagihan dan PPN = 10% X DPP ---> efektif = 1% X tagihan.
YANG TIDAK KENA PPN
Biasanya diinvoice itu ada ocean Freight (including THC,BAF,Seal Fee,Telex release), B/L Fee, Document+adm Fee, Correction Fee, Storage, Trucking, Demurrage, Customs Clearance/Handling Fee, dll...

Masih mengacu pada S-766 semua penyerahan tersebut tidak termasuk penyerahan yang tidak terutang PPN..kecuali jika invoice dari Shipping Line or Airline atas nama customer forwarder.

Walaupun Biaya Ocean Freight merupakan jasa perkapalan yang termasuk kedalam jenis jasa yag tidak terutang PPN...
3. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-975/PJ.53/2003 tentang Dasar Pengenaan PPN dalam Industri
Freight Forwarder antara lain menyimpulkan sebagai berikut :
a. Apabila dalam invoice terdapat biaya reimbursement yaitu penggantian untuk biaya yang telah
dibayarkan dahulu oleh pemberi jasa atas nama penerima jasa yang didalamnya terdapat
biaya yang sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai antara lain biaya freight, biaya
warehouse, bea masuk, dan biaya bill of lading, maka atas bagian yang direimburs itu tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya apabila terdapat perbedaan antara nilai biaya
freight, biaya warehouse dan biaya lain-lain yang dibayarkan perusahaan jasa forwarding
kepada perusahaan pelayaran atau pihak lain dengan yang dimintakan oleh perusahaan jasa
forwarding kepada pelanggan, maka selisihnya merupakan bagian dari Dasar Pengenaan
Pajak.
b. Apabila dalam kontrak seluruh tagihannya atas nama pemberi jasa maka Pajak Pertambahan
Nilai terutang atas seluruh nilai kontrak termasuk biaya penggantian atau reimbursement.
4. Berdasarkan ketentuan pada angka 2 dan Surat Direktur Jenderal Pajak pada angka 3 serta
memperhatikan isi surat Saudara dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Sepanjang pembukuan yang Saudara lakukan lazim dipakai di Indonesia berdasarkan Prinsip
Standard Akuntansi Keuangan dan dapat terlihat pajak yang terutang maka metode yang
Saudara tunjukkan dapat digunakan.
b. Pencatatan dalam pembukuan Saudara untuk biaya reimbursement atas nama penerima jasa
dan pendapatan saudara atas Jasa Freight Forwarding berasal dari selisih antara biaya yang
dibayarkan ke perusahaan pelayaran dengan yang dimintakan ke penerima jasa harus
menggambarkan keadaan sebenarnya atas besarnya piutang yang akan ditagih,
reimbursement dari penerima jasa, pendapatan Saudara dan PPN yang terutang atas
transaksi tersebut, dan alternatif ke 2 dalam surat Saudara lebih memenuhi kriteria
sebagaimana diuraikan diatas, selain itu juga dengan sistem pembukuan tersebut lebih mudah
untuk ditelusuri baik oleh Wajib Pajak sendiri maupun oleh fiskus.
Demikian untuk dimaklumi.
DIREKTUR,
ttd
HERRY SUMARDJITO
Gunakan Fasilitas Pencarian Peraturan Pajak Based Keywords Relevancy Untuk Hasil Pencarian Lebih Akurat.
Surat Dirjen Pajak
S - 419/PJ.323/2005
Tahun:
2 005


Komentar lainnya
Reimbursement dalam Jasa Freight Forwarding
Reimbursment merupakan suatu jumlah yang ditagih oleh Pemberi Jasa kepadaPenerima Jasa yang berasal dari tagihan Pihak Ketiga (Supplier).
Dengan demikian, Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi reimbursment adalah PemberiJasa selaku pihak yang menyerahkan jasa kepada konsumen (Penerima Jasa),Penerima Jasa, dan Pihak Ketiga selaku pihak yang dilibatkan oleh Pemberi Jasadalam melakukan penyerahan jasa kepada konsumen (Penerima Jasa).Transaksi Reimbursment ini umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan jasa yang bekerjasama dengan pihak ketiga dalam melakukan kegiatan pemberian jasakepada konsumen (penerima jasa) antara lain perusahaan yang bergerak di bidangusaha jasa freight forwarding yang dalam kegiatan operasionalnya bekerjasamadengan Pihak Ketiga antara lain perusahaan pengangkutan / pengiriman barang.
Tagihan biaya yang di-Reimburs antara lain : Freight, THC, Document Fee, D/O,Cleaning Container, Lift on/off Container, shipping line, Airline.Dalam hal terjadi transaksi Reimbursment, Tagihan dari Pihak Ketiga akanditeruskan oleh Pemberi Jasa kepada Penerima Jasa dengan atau tanpa ditambah imbalan (Mark Up). Selanjutnya pembayaran dari Penerima Jasa akan diteruskan oleh Pemberi Jasa kepada Pihak Ketiga tersebut setelah dikurangi dengan imbalan mark up. Jumlah penerimaan yang akan dicatat sebagai penghasilan/pendapatan oleh Pemberi Jasa adalah jumlah pembayaran dari Penerima Jasa dikurangi dengan

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Jasa FreightForwarding bukanlah merupakan objek pajak PPh 23, hal ini tertera jelas dalamPER-70/PJ/2007 (isinya merupakan jasa-jasa yang dikenakan PPh 23/positif list),dimana jasa Freight Forwarding tidak termasuk di dalam positif list tersebut.Kemudian dipertegas dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, jasa freight forwarding bukan merupakan objek pemotonganPPh Pasal 23.
Bahkan sebelumnya, dengan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor:S-785/PJ.032/2007 ditegaskan pula bahwa freight forwarding bukanlah jasaperantara.
Tetapi jika jasa freight forwarding di-break down menjadi aktivitas-aktivitas yangdi dalamnya terdapat aktivitas/kegiatan yang merupakan objek pajak, maka jasa-jasa tersebut yang akan menjadi objek PPh 23, misalnya: jasa pengepakan ataujasa fumigasi.Grey area pengenaan PPh 23 di dalam aktivitas-aktivitas yang membentuk  jasafreight forwarding tidak dapat dihindarkan, hal ini terjadi juga di beberapa jasa lainnya, misalnya: jasa pengangkutan dianggap sebagai jasa charter atau tidak.Tetapi diharapkan kita mengetahui arti inti dari kegiatan/jasa tersebut sehinggakita dapat menilai pajak penghasilan yang mengatur atau mendekati mengatur atasaktivitas tersebut.Reimbursable banyak dilakukan di perusahaan freight forwarding, dan peraturanmengenai hal ini masih belum diatur secara jelas/khusus di dalam peraturanperpajakan, tetapi transaksi reimbursable ini harus mengikuti ketentuan sebagaiberikut:1. Tagihan dari pihak ke 3 yang diteruskan kepada pihak penerimajasa, tidak boleh di-mark up nilainya2. Tagihan dari pihak ke 3 yang diteruskan kepada pihak penerima jasa, harusditujukan/atas nama pihak penerima jasa3. Tagihan/transaksi reimbursable ini tidak dapat menjadi bagian daripendapatan usaha ataupun beban usaha dari perusahaan tersebut.Sejauh ini semua peraturan perpajakan untuk jasa freight forwarding di industriFreight Forwarding/Jasa Pengurusan Transportasi/EMKL/Ekspedisi, masih perludiperjelas, karena salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan perpajakanadalah adanya peraturan perpajakan yang jelas, sehingga semua wajib pajak yangbergerak dalam bidang industri freight forwarding menjadi lebih jelas dalammengikuti/mematuhi peraturan yang ada, dan petugas pajak akan menjadi lebihjelas dalam menegakkan peraturan yang ada.Sekarang ini ada kecenderungan pada petugas pajak dalam menegakkan peraturanyang ada dengan cara tebang-pilih, hal ini menjadi image yang sangat jelek bagipetugas pajak itu sendiri, bahkan investor-investor asing yang ingin membukausahanya di industri freight forwarding pun akan mengurungkan niatnya jikasemua peraturan yang ada masih grey area dan penegakkannya pun bersifatsubjektif/tebang pilih. Hal inilah yang harus dihindari dan harus dilihat olehpemerintah jika ingin meningkatkan pertumbuhan industri.



SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 419/PJ.323/2005 

TENTANG

PENCATATAN PENJUALAN ATAS PERUSAHAAN JASA FREIGHT FORWARDING

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 20 Oktober 2004 perihal tersebut diatas, dengan ini 
kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Secara garis besar surat Saudara menyatakan sebagai berikut :
a. Perusahaan Saudara bergerak dalam bidang jasa freight forwarding dan berdasarkan surat 
Nomor S-975/PJ.53/2003 antara lain disebutkan bahwa atas bagian yang direimburse tidak 
terhutang Pajak Pertambahan Nilai, namun demikian apabila terdapat perbedaan antara biaya 
freight, biaya warehouse dan biaya lain-lain yang dibayarkan oleh perusahaan jasa freight 
forwarding kepada perusahaan pelayaran atau fihak lain dengan yang dimintakan oleh 
perusahaan jasa freight forwarding kepada pelanggan, maka selisihnya merupakan bagian 
dari Dasar Pengenaan Pajak.
b. Berdasarkan hal tersebut perusahaan menanyakan tentang metode pencatatan, apakah 
pendapatan dibukukan sebesar jumlah yang diterima dari konsumen termasuk didalamnya 
reimbursement kemudian dijurnal balik pembayaran reimburse sebagai harga pokok atau 
pendapatan diterima sejumlah yang diterima perusahaan jasa freight forwarding dan 
selanjutnya reimbursement dibukukan juga dan tidak ada jurnal balik. Dari dua metode 
tersebut manakah yang dapat diterapkan dengan berdasarkan penjelasan surat Nomor 
S-975/PJ.53/2003 tanggal 10 Juli 2003. Jika diantara 2 metode tersebut terdapat salah satu 
yang tidak dapat diterapkan, apakah kendala-kendalanya.

2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara 
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 
2000 antara lain mengatur :
a. Pasal 1 angka 26 : Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur 
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, 
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang 
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan rugi laba pada setiap 
Tahun Pajak berakhir.
b. Pasal 28 Ayat 1 : Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan 
bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
c. Pasal 28 Ayat 3 : Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan 
memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang 
sebenarnya.
d. Pasal 28 Ayat 5 : Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel 
akrual atau stelsel kas.
e. Pasal 28 Ayat 6 : Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus 
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
f. Pasal 28 Ayat 7 : Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, 
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat 
dihitung besarnya pajak yang terutang. Dalam penjelasan disebutkan bahwa pengertian 
pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 26. Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan 
agar dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat 
dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak-pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari 
pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 
dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan 
atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang 
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan 
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean, jumlah 
pajak masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian 
pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia 
misalnya berdasarkan Standard Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan 
perpajakan menentukan lain.

3. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-975/PJ.53/2003 tentang Dasar Pengenaan PPN dalam Industri 
Freight Forwarder antara lain menyimpulkan sebagai berikut :
a. Apabila dalam invoice terdapat biaya reimbursement yaitu penggantian untuk biaya yang telah 
dibayarkan dahulu oleh pemberi jasa atas nama penerima jasa yang didalamnya terdapat 
biaya yang sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai antara lain biaya freight, biaya 
warehouse, bea masuk, dan biaya bill of lading, maka atas bagian yang direimburs itu tidak 
terutang Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya apabila terdapat perbedaan antara nilai biaya 
freight, biaya warehouse dan biaya lain-lain yang dibayarkan perusahaan jasa forwarding 
kepada perusahaan pelayaran atau pihak lain dengan yang dimintakan oleh perusahaan jasa 
forwarding kepada pelanggan, maka selisihnya merupakan bagian dari Dasar Pengenaan 
Pajak.

b. Apabila dalam kontrak seluruh tagihannya atas nama pemberi jasa maka Pajak Pertambahan 
Nilai terutang atas seluruh nilai kontrak termasuk biaya penggantian atau reimbursement.

4. Berdasarkan ketentuan pada angka 2 dan Surat Direktur Jenderal Pajak pada angka 3 serta 
memperhatikan isi surat Saudara dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Sepanjang pembukuan yang Saudara lakukan lazim dipakai di Indonesia berdasarkan Prinsip 
Standard Akuntansi Keuangan dan dapat terlihat pajak yang terutang maka metode yang 
Saudara tunjukkan dapat digunakan.
b. Pencatatan dalam pembukuan Saudara untuk biaya reimbursement atas nama penerima jasa 
dan pendapatan saudara atas Jasa Freight Forwarding berasal dari selisih antara biaya yang 
dibayarkan ke perusahaan pelayaran dengan yang dimintakan ke penerima jasa harus 
menggambarkan keadaan sebenarnya atas besarnya piutang yang akan ditagih, 
reimbursement dari penerima jasa, pendapatan Saudara dan PPN yang terutang atas 
transaksi tersebut, dan alternatif ke 2 dalam surat Saudara lebih memenuhi kriteria 
sebagaimana diuraikan diatas, selain itu juga dengan sistem pembukuan tersebut lebih mudah 
untuk ditelusuri baik oleh Wajib Pajak sendiri maupun oleh fiskus.

Demikian untuk dimaklumi.




DIREKTUR,

ttd

HERRY SUMARDJITO


Salam
Perlakuan Perpajakan Atas Reimbursment
Selasa, 1 Januari 2008 - DannyDarussalam.com Tax Center
Oleh : Tunas Hariyulianto 
Reimbursment merupakan suatu jumlah yang ditagih oleh Pemberi Jasa kepada Penerima Jasa yang berasal dari tagihan Pihak Ketiga (Supplier). Dengan demikian, Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi reimbursment adalah Pemberi Jasa selaku pihak yang menyerahkan jasa kepada konsumen (Penerima Jasa), Penerima Jasa, dan Pihak Ketiga selaku pihak yang dilibatkan oleh Pemberi Jasa dalam melakukan penyerahan jasa kepada konsumen (Penerima Jasa).
Transaksi Reimbursment ini umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan jasa yang bekerjasama dengan pihak ketiga dalam melakukan kegiatan pemberian jasa kepada konsumen (penerima jasa) antara lain perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa freight forwarding yang dalam kegiatan operasionalnya bekerjasama dengan Pihak Ketiga antara lain perusahaan pengangkutan / pengiriman barang. Tagihan biaya yang di-Reimburs antara lain : Freight, THC, Document Fee, D/O, Cleaning Container, Lift on/off Container, shipping line, dan air line.

Dalam hal terjadi transaksi Reimbursment, Tagihan dari Pihak Ketiga akan diteruskan oleh Pemberi Jasa kepada Penerima Jasa dengan atau tanpa ditambah imbalan (Mark Up). Selanjutnya pembayaran dari Penerima Jasa akan diteruskan oleh Pemberi Jasa kepada Pihak Ketiga tersebut setelah dikurangi dengan imbalan mark up. Jumlah penerimaan yang akan dicatat sebagai penghasilan/pendapatan oleh Pemberi Jasa adalah jumlah pembayaran dari Penerima Jasa dikurangi dengan Reimbursment. Oleh karena itu, dokumen tagihan oleh Pihak Ketiga seharusnya dibuat langsung atas nama Penerima Jasa (bukan Pemberi Jasa).

Selanjutnya bagaimana perlakuan perpajakan atas transaksi Reimbursment ini. Dalam artikel ini, akan diuraikan perlakuan perpajakan (PPN dan PPh) atas transaksi Reimbursment didasarkan atas ketentuan perpajakan yang berlaku.

PERLAKUAN PPN 
Pasal 1 angka 17 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menyatakan bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Dalam kaitannya dengan penyerahan jasa, yang dipakai sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah Penggantian. Definisi Penggantian menurut Pasal 1 angka 19 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Dalam transaksi reimbursment, tagihan dari pihak ketiga dibuat langsung atas nama Penerima Jasa. Pemberi jasa hanya membantu meneruskan tagihan tersebut dari pihak ketiga kepada penerima jasa. Tagihan reimbursment tersebut tidak termasuk dalam pengertian Penggantian bagi Pemberi Jasa (semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pemberi Jasa), karena biaya dimaksud diminta langsung oleh pihak ketiga (melalui Pemberi Jasa) yang ditunjukkan dengan adanya invoice yang dibuat langsung atas nama penerima jasa. Dengan demikian, dalam menghitung PPN yang terutang atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh Pemberi Jasa, biaya-biaya tersebut (Reimbursment) tidak dihitung sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Apabila invoice tagihan dari pihak ketiga dibuat atas nama Pemberi Jasa, maka Pemberi Jasa harus menerbitkan invoice baru untuk menagih biaya tersebut kepada Penerima Jasa. Karena invoice tagihan kepada Penerima Jasa dibuat oleh dan atas nama Pemberi Jasa, maka biaya-biaya dalam invoice tersebut masuk dalam pengertian biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pemberi Jasa, sehingga masuk dalam pengertian penggantian sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 19 di atas. Dengan demikian, dalam menghitung PPN yang terutang atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh Pemberi Jasa, biaya-biaya tersebut harus dihitung sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perlakuan PPN atas Reimbursment harus dilihat terlebih dahulu invoice tagihan oleh Pihak Ketiga, apakah atas nama Pemberi Jasa atau atas nama Penerima Jasa.

Ketentuan mengenai perlakuan PPN atas Reimbursment ini belum secara khusus diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak. Hingga saat ini, Ketentuan yang ada hanya berupa surat-surat penegasan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak antara lain : S-807/PJ.53/2004, S-766/PJ.53/2004, S-768/PJ.53/2004, dan S-917/PJ.53/2003, sementara diketahui bahwa dokumen penegasan dalam bentuk surat, bersifat intern atau khusus (tidak berlaku umum) dan tidak berlaku sebagai dasar hukum yang sah secara umum. Oleh karena itu, untuk lebih memberikan Kepastian Hukum, diusulkan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan suatu Keputusan (atau Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak) yang mengatur perlakuan PPN atas Reimbursment ini.

PERLAKUAN PPh 
Ketentuan yang mengatur tentang pengakuan pendapatan dan biaya dalam hal terdapat transaksi reimbursment, belum diatur secara khusus. Namun sesuai dengan penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP menyatakan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain. Dengan demikian, sepanjang peraturan perundang-undangan perpajakan tidak menentukan secara khusus, maka pengakuan pendapatan dan biaya dalam hal terdapat transaksi reimbursment harus menggunakan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia yaitu Standar Akuntansi Keuangan Indonesia.

Di atas telah disampaikan bahwa dalam transaksi reimbursment dokumen invoice tagihan oleh Pihak Ketiga dibuat langsung atas nama Penerima Jasa. Menurut kelaziman akuntansi di Indonesia, dokumen/invoice tagihan yang akan diakui sebagai pendapatan Pemberi Jasa adalah dokumen tagihan/invoice yang dibuat atas nama Pemberi Jasa yang bersangkutan. Dengan demikian, atas pembayaran (Reimbursment) yang diterima dari Penerima Jasa atas tagihan invoice dimaksud tidak akan diakui sebagai penghasilan/pendapatan oleh Pemberi Jasa. Demikian pula pembayaran oleh Pemberi Jasa kepada Pihak Ketiga tidak boleh diakui / dicatat sebagai biaya (pengurang penghasilan bruto).

Pengakuan Pendapatan dan Biaya ini juga telah selaras dengan penghitungan peredaran usaha (Dasar Pengenaan Pajak) menurut ketentuan PPN. Seperti telah diuraikan di atas, dalam ketentuan PPN diatur bahwa reimbursment dikurangkan dari Dasar Pengenaan Pajak PPN, sehingga penerimaan pembayaran reimbursment dari Penerima Jasa juga seharusnya tidak dicatat/diakui sebagai pendapatan. Dengan demikian, peredaran usaha menurut PPN akan sama (equal) dengan peredaran usaha menurut PPh.




Mencari Ilmu itu Tanpa Batas.


Comments